Minggu, 03 Januari 2010

Pesan di Akhir Tahun (oleh G.A. Dyah Shanty)

Hari itu tidak lebih lenggang daripada hari-hari yang lainnya, hanya suara radio yang sayup-sayup memenuhi ruangan dengan melodi jazz yang berat dan memenangkan. Pengunjung terakhir baru saja meninggalkan ruangan restoran itu dengan malas, menghilang begitu saja di tengah udara malam yang lembab sehabis hujan. Detak jam terasa begitu hidup dan menuntut, seakan dengan jelas menghitung waktu yang tersisa sebelum pergantian tahun.

Arie sudah menyelesaikan semua tugas-tugasnya, bahkan jauh sebelum tamu terakhir pergi. Sekarang setelah mengembalikan semua perlengkapan makan terakhir ke tempatnya, ia harusnya menikmati sisa jam kerjanya hingga tengah malam nanti dalam kedamaian. Namun, nyatanya jantung Arie berdetak jauh lebih cepat dari detak jam. Berulang kali ia mengawasi sebuah blackberry yang berkedip-kedip di sudut sofa, milik seorang tamu yang tertinggal. Ia masih ingat pemiliknya adalah seorang gadis yang tadi begitu rebut dengan teman-temanya. Usianya mungkin sekitar 18 tahun, dan dari pakaian dan gaya bahasanya, terlihat jelas kalau ia berasal dari keluarga berada. Hati Arie mencelos mengingatnya. Masa remajanya tak bisa dibilang menyenangkan, hanya sekurun waktu yang ia habiskan dengan semestinya. Prestasinya tidak pernah lebih dari rata-rata dan dua tahun setelah ia lulus dari SMA, bapaknya menikahkannya dengan gadis tetangga sekampungnya. Hidup mereka cukup baik, apabila bisa makan tiga kali sehari sudah dibilang baik. Dan setelah anak pertama mereka lahir, Arie mendapat kerja di sebuah restoran yang cukup ternama sehingga pada akhir minggu ia bisa membawa keluarganya main d alun-alun atau sekedar bersenang-senang di pasar malam yang kadang berhenti di lapangan dekat kampungnya.

Namun, Arie merasa cukup senang. Hidupnya damai dan tenang. Anaknya tumbuh sehat dan selalu menceriakan hatinya. Walau begitu, dalam hatinya tetap terpendam keinginan untuk membelikan gaun yang lucu untuknya, agar putrid kecilnya tidak kalah cantik dengan anak-anak yang sering dibawa tamu-tamu restorannya. Acapkali dengan pedih ia mengubur keinginannya itu, gajinya tidak akan pernah bisa mengabulkannya. Sekarang di hadapannya terbuka kesempatan untuk membuat mimpinya nyata. Sebuah blackberry yang masih tergolong baru telgeletak dalam jangkauannya, menunggu keputusannya. Ia tahu kisaran harganya, karena diam-diam ia sering membaca korann yang tertinggal dan bermimpi memiliki salah satu barang mewah itu suatu hari nanti. Terbayang olehnya senyum manis sang putrid dalam balutan gaun pink berenda, sebuah sepatu putih mengkilap akan melengkapi penampilan cantiknya. Ia juga bisa membelikan anting emas mungil yang diam-diam diinginkan istrinya, dan untuk dirinya mungkin sebuah handphone sudah cukup.

Arie terdiam sejenak. Sekali lagi ia melihat ke sekeliling seakan memastikan tidak ada saksi mata. Keringat dingin sudah membasahi tengkuknya, seakarang mulai mehiasi telapak tangannya. Perlahan ia menjangkau Blackberry itu dari balik meja, menggenggamnya dengan kidhmat, merasakan kemewahan yang belum pernah ia miliki. Tiba-tiba blackberry itu bergetar lagi, hampir saja Arie melemparnya karena kaget. Namun ia masih bisa mengendalikan diri. Ia tahu telepon itu dari pemiliknya, ia bisa mersakannya. Sekali lagi kebimbangan melanda pikirannya. Arie tidak pernah mencuri sebelumnya, bahkan mangga milik tetangga pun tidak. Ayahnya memang bukan orang berada, namun tak kenal lelah menanamkan norma-norma.

“Bukankah kamu tidak mencurinya?” kata sebuah suara di hatinya “kamu hanya memungut sebuah barang yang tertinggal. Tentu saja kamu punya hak untuk memiliknya”

Sejenak Arie tergoda, namun tiba-tiba saja hatinya teguh. Dengan mantap ia tekan tombol terima dan menjawab panggilan itu…

***

Sepanjang perjalanan pulang, Arie masih terbayang kejadian tadi. Anak gadis pemilik blackberry itu datang padanya dengan bercucuran air mata. Ia diantar oleh salah satu temannya, yang tidak kalah gugupnya. Gadis itu bilang, benda itu adalah hadiah ulang tahunnya dan orang tuanya pasti akan marah besar jika ia sampai menghilangkannya. Arie tersenyum kecil, entah kenapa hatinya terasa hangat. Di langit semburat warna-warni kembang api telah menandakan berpindahnya tahun. Satu kurun waktu telah ia lalui dan ia bersyukur karena telah dapat melaluinya dengan cukup baik.

Sesampainya di rumah istrinya menyambutnya dengan senyum, dan bercerita bahwa putrinya telah mencoba menunggu kedatangannya, namun jatuh tertidur. Tergerak, Arie masuk ke kamar putrinya, membelai wajahnya yang manis dan polos. Setitik rasa sesal hinggap di benaknya, angan-angan untuk memberikan sesuatu yang lebih baik untuk sang buah hati. Arie mendesah dan memalingkan muka dan ia menemukan sebuah catatan dengan tulisan tak beraturan di meja kecil di samping tempat tidur putrinya. Arie membaca tulisan itu sepenuh hati dan sekejap hatinya kembali hangat, dan ia benar-benar bersyukur akan hidupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar