Minggu, 03 Januari 2010

A Tough Generation (oleh Mutiara Aisyah)

Beberapa waktu yang lalu, saya bersama teman-teman dari kelompok mentoring mengunjungi salah satu sekolah dasar di belakang kampus kami, Universitas Ma Chung. Sejak minggu sebelumnya, kami mengadakan beberapa kegiatan di sini sebagai bentuk pengabdian masyarakat, sekaligus tugas dari mata kuliah CBDC (Character Building Development Center) IV, yakni Relasi Manusia dengan Dunia. Beberapa hal yang akan kami lakukan di sana antara lain, melakukan penghijauan, membuat sistem informasi akademik, mengadakan penyuluhan tentang pembuangan sampah, serta melakukan pengadaan tempat sampah di SD tersebut.

Karena Sabtu sebelumnya saya berhalangan hadir, alhasil Sabtu kemarin adalah hari pertama saya mengunjungi sekolah tersebut. Saat menginjakkan kaki di sana, saya merasakan sebuah ironi yang mendalam. Gedung sekolah yang berada di balik gedung universitas yang megah itu berada dalam kondisi yang penuh kesederhanaan. Sebuah ironi yang membuat saya merenung beberapa saat. Saya bahkan tak pernah menyadari sebelumnya bahwa di balik keindahan arsitektur gedung Bakti Persada, terdapat sebuah gedung tua dimana terdapat sejuta harapan dari puluhan anak-anak itu.

Saat memasuki pagar sekolah, kami disambut dengan tawa riang dari bibir-bibir mungil yang menyejukkan hati. Saat kutatap binar mata-mata itu, kulihat ada sejuta harapan di sana. Harapan yang akan menghantarkan mereka meraih cita-citanya.

Tangan-tangan mungil yang dengan cekatan mendampingi kami bekerja bersama membuatku menyadari bahwa mereka akan menjadi sosok-sosok tangguh yang dinanti oleh dunia. Di sisi lain, sebenarnya aku menyadari bahwa seharusnya aku bersyukur bahwa di usia yang sama dengan mereka, aku mendapat berbagai kemudahan untuk mengoptimalkan potensi diriku.

Seketika, ingatanku melayang ke masa-masa kecilku,

Saat aku berada dalam usia yang sama dengan mereka, aku bersekolah sebuah SD swasta di Jakarta. Kebanyakan teman-temanku adalah anak-anak dari golongan berada. Kebanyakan dari mereka pulang pergi dengan mobil mewah beserta supirnya, dengan bekal makanan bergizi yang menyehatkan, dan fasilitas sekolah yang sangat memadai, semua itu seharusnya membuat kami malu jika kami masih memiliki alasan untuk bermalas-malasan. Meskipun keluargaku saat itu tidak berada dalam kondisi yang penuh kemewahan, tapi aku bersyukur karena aku diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan dasar yang memadai, dengan teman-teman yang membuatku terpacu untuk belajar, serta fasilitas sekolah yang sangat mencukupi.

Namun demikian, saat melihat anak-anak itu, aku semakin menyadari bahwa kondisi materi bukan merupakan faktor utama yang mempengaruhi semangat belajar seseorang. Di saat 10 tahun yang lalu aku dan teman-teman sibuk bertukar cheat game komputer, ternyata saat ini adik-adik itu masih harus mengantri di hadapan sebuah komputer bersama teman-teman sekelasnya, hanya untuk mencoba program paint. Di saat adik sepupuku yang berusia tiga tahun sudah bisa bermain solitaire di kamarnya, anak-anak itu masih harus mengantri untuk mempraktikkan cara menggunakan mouse. Di saat SD dulu aku dan teman-teman saling bertukar gambar melalui email, anak-anak itu bahkan saat ini masih belum pernah mendapat kesempatan untuk sekedar menggunakan internet.

Namun demikian, selama aku memperhatikannya, aku merasa bahwa mereka akan menjadi generasi yang lebih tangguh dibandingkan aku dan teman-temanku. (Mungkin ada sebagian yang menilai bahwa ekspektasi saya terlihat berlebihan, namun jika teman-teman melihat langsung kondisi yang sebenarnya, saya yakin anda akan memiliki pemikiran yang tidak jauh berbeda dengan saya). Saat dulu aku dan teman-temanku memilih bersembunyi saat diadakan kerja bakti di sekolahku, mereka justru dengan semangat membantu kami bekerja bersama. Saat dulu aku dan teman-teman sibuk memainkan tamagotchi kami masing-masing, mereka bisa tertawa lepas hanya dengan bermain lempar tangkap penghapus papan tulis. Saat dulu aku dan teman-teman memasang wajah cemberut jika mobil antar jemput kami datang terlambat beberapa menit, mereka malah harus berjalan kaki untuk berangkat dan pulang sekolah setiap hari.

Mereka menikmati kehidupannya dengan segala perjuangannya. Mereka menjalaninya dengan penuh ketekunan karena mereka percaya bahwa suatu saat mereka akan menuai hasil dari itu semua. Mereka memiliki cara tersendiri untuk meraih kebahagiaannya, yakni melalui ketekunan dan kegigihannya. Di pundak mereka terdapat sejuta pengharapan dari orangtuanya. Di senyum mereka ada semangat hidup yang tak pernah pudar. Di mata mereka terdapat secercah sinar yang menerangi bumi dan seisinya. Di hati mereka ada impian yang akan membuat mereka mampu menaklukkan dunia.

[A young, great, tough generation]

Aku memang belum bisa memberi sesuatu yang nyata pada mereka, yang bisa kuberikan hanyalah harapan, motivasi, dan keyakinan bahwa mereka adalah generasi yang dinanti oleh dunia. Jangan pernah berhenti berjuang, adik-adikku. Kami yakin, kalian semua akan dapat meraih apa yang kalian impikan. Tak ada yang tak mungkin, selama kita mau belajar, bekerja keras, dan berdoa. Percayalah, suatu hari nanti, dunia 'kan tersenyum bangga melihatmu, adik-adikku. Tetap semangat!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar